Kita mungkin sering bertanya-tanya dalam hati, "Apa sebenarnya tujuan hidup ini?" Di tengah-tengah hiruk-pikuk dunia, di antara kesibukan yang tak pernah berhenti, kita diingatkan oleh Allah dalam Al-Quran tentang alasan utama mengapa kita diciptakan. Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ ٱلْجِنَّ وَٱلْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: "Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan untuk beribadah kepada-Ku." (QS. Adz-Dzariyat: 56)
Inilah tujuan utama hidup kita: untuk beribadah kepada
Allah, mengarahkan seluruh eksistensi kita kepada-Nya. Namun, penting untuk
memahami bahwa ibadah dalam Islam bukan hanya sekadar shalat, puasa,
zakat, dan haji. Ibadah dalam Islam memiliki makna yang sangat luas. Ibnu
Taimiyah rahimahullah mendefinisikan ibadah sebagai segala sesuatu yang Allah
cintai dan ridhai, baik itu dalam bentuk perkataan, perbuatan, maupun isi hati.
Ibadah
sejati adalah totalitas hidup seorang Muslim. Ketika kita bekerja dengan jujur,
berbuat baik kepada sesama, menjaga lingkungan, mendidik anak-anak kita dengan
kasih sayang, bahkan tersenyum kepada saudara kita, semua itu adalah ibadah
selama dilakukan dengan niat yang benar. Artinya, setiap aspek kehidupan kita
memiliki potensi untuk menjadi ladang ibadah, asal kita niatkan untuk Allah ﷻ.
Bayangkan, setiap perbuatan yang kita lakukan, selama itu
dicintai Allah dan sesuai dengan petunjuk-Nya, semuanya bernilai ibadah. Ketika
seorang ibu merawat anaknya dengan sabar, itu adalah ibadah. Ketika seorang
ayah mencari nafkah dengan jujur, itu adalah ibadah. Ketika seorang siswa
belajar dengan niat yang ikhlas, itu juga bernilai ibadah. Dengan demikian,
kehidupan kita seluruhnya bisa dipenuhi dengan nilai-nilai ibadah, selama kita
mengarahkan niat kita kepada Allah.
Namun, ada
bentuk-bentuk ibadah yang khusus yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya,
seperti shalat, puasa, zakat, dan lain-lain . Untuk mencapai ibadah yang
sempurna, terutama dalam ibadah-ibadah khusus yang telah ditentukan oleh
syariat, ada dua syarat utama yang harus kita penuhi agar ibadah tersebut
diterima oleh Allah ﷻ. Agar ibadah-ibadah khusus ini diterima oleh Allah, dua
syarat penting ini harus kita perhatikan.
Pertama, Ikhlas Karena Allah
Ikhlas adalah dasar dari setiap amal ibadah. Allah hanya
menerima amal yang dilakukan dengan tulus, tanpa ada niat selain mengharapkan
ridha-Nya. Amal yang dilakukan tanpa keikhlasan akan sia-sia di hadapan Allah.
Nabi ﷺ bersabda:
إنَّمَا الأعمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِكُلِّ امريءٍ ما نَوَى
Artinya: "Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan
seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan niatnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Keikhlasan berarti kita mengarahkan niat hanya kepada
Allah, bukan untuk dilihat atau dipuji oleh manusia. Setiap langkah kita, jika
diniatkan ikhlas karena Allah, maka akan bernilai ibadah di sisi-Nya.
Kedua, Ittiba’ atau Mencontoh Nabi
Ibadah yang kita lakukan harus sesuai dengan tuntunan
Nabi Muhammad ﷺ. Sebab, beliau adalah utusan Allah yang diutus untuk
menunjukkan kepada kita cara beribadah yang benar. Allah Ta’ala berfirman:
مَّن يُطِعِ ٱلرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ ٱللَّهَ ۖ وَمَن تَوَلَّىٰ
فَمَآ أَرْسَلْنَٰكَ عَلَيْهِمْ حَفِيظًا
Artinya: “Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
sesungguhnya ia telah mentaati Allah. Dan barangsiapa yang berpaling (dari
ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka.”
(QS. An-Nisa: 80)
Kita tidak boleh melakukan ibadah hanya berdasarkan
keinginan atau tradisi yang tidak ada tuntunannya dalam ajaran Nabi. Ibadah
yang dilakukan tanpa mengikuti sunnah Nabi akan tertolak. Rasulullah
shallallahu 'alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَحْدَثَ فِى أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ
رَدٌّ
Artinya: "Barangsiapa yang mengada-adakan sesuatu dalam urusan (agama)
kami yang bukan bagian darinya, maka hal itu tertolak." (HR. Bukhari dan Muslim)
Lalu,
bagaimana dengan tradisi yang ada dalam masyarakat kita? Dalam Islam, tradisi
atau adat tidaklah dilarang selama tidak bertentangan dengan syariat. Jika
sebuah tradisi masih sesuai dengan prinsip-prinsip Islam dan tidak mengandung
kemaksiatan, maka tradisi tersebut boleh dijalankan, bahkan bisa menjadi sarana
kebaikan.
Sebagai
contoh, tradisi saling berbagi makanan saat Idul Adha atau menjenguk orang
sakit adalah bentuk-bentuk budaya yang diperbolehkan, bahkan dianjurkan dalam
Islam. Selama tradisi itu baik dan tidak bertentangan dengan syariat, hal
tersebut bisa menjadi bentuk ibadah sosial yang membawa kebaikan.
Oleh karena
itu, marilah kita jadikan hidup ini penuh dengan ibadah, baik dalam bentuk
ibadah khusus maupun umum. Ketika bekerja, berniatlah untuk memberi manfaat dan
mencari ridha Allah. Ketika membantu sesama, lakukan dengan hati yang ikhlas.
Dengan demikian, setiap langkah dan aktivitas kita akan mendekatkan kita kepada
Allah dan menambah kecintaan-Nya kepada kita.
Mari kita renungkan kembali tujuan hidup kita. Apakah
setiap langkah yang kita ambil sudah bernilai ibadah? Apakah setiap kata yang
kita ucapkan dan perbuatan yang kita lakukan sudah menjadi sesuatu yang Allah
cintai dan ridhoi? Dengan ikhlas dan ittiba’, seluruh hidup kita
bisa menjadi pengabdian yang berarti di hadapan Allah.
Hidup ini singkat, dan dunia ini hanya sementara. Mari
kita jadikan setiap detik kita sebagai ibadah yang mendekatkan kita kepada
Allah. Semoga kita termasuk orang-orang yang senantiasa berada dalam ridha-Nya
dan meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Semoga Allah memudahkan kita untuk
selalu ikhlas dalam beribadah dan istiqamah dalam meneladani Nabi Muhammad ﷺ.
***